DISKUSI IPS INTENSIF (DIPSI) : Kartu Kuning Untuk Jokowi
Judul: Kartu
Kuning Untuk Jokowi
Oleh: Muhammad
Bahi Royhan (wakil ketua BEM FIS)
Waktu: Selasa,
20 maret 2018
Tempat: Belakang
HUMAS UNJ
Acara Dies Natalis
Ke-68 Universitas Indonesia menjadi awal dari peristiwa “Kartu kuning” yang
dilakukan secara spontanitas oleh Ketua BEM UI Zaadit Taqwa. Hal tersebut
dilakukan untuk memberi peringatan kepada Presiden RI Joko Widodo untuk
melakukan evaluasi atas berbagai masalah yang terjadi di dalam negeri. Beberapa
hari sebelum kedatangan Jokowi ke UI, pihak BEM UI meminta kepada Rektorat UI
untuk memfasilitasi pertemuan dengan Jokowi. Sayangnya pihak BEM UI tidak juga mendapatkan kejelasan
mengenai forum pertemuan itu. Lalu, mereka memutuskan untuk melakukan aksi
damai di sekitaran Stasiun UI. Namun ketika melakukan aksi, atribut yang digunakan dalam aksi langsung diamankan
oleh pihak keamanan kampus dan paspampres.
Ada 3 hal yang menjadi
sorotan BEM UI, pertama adalah isu gizi buruk di Asmat yang menurut data
Kemenkes terdapat 646 anak terkena wabah campak, 144 anak menderita gizi buruk,
25 anak suspect campak, dan 4 anak terkena wabah campak dan gizi buruk. Menurut
BEM UI, kondisi tersebut tidak sebanding dengan dana otonomi khusus senilai Rp.
11,67 triliun yang dialokasikan oleh pemerintah untuk Provinsi Papua. Kedua,
pengusulan asisten Operasi Kaporli Irjen Mochamad Iriawan sebagai pejabat
gubernur Jabar dan Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin sebagai pejabat
gubernur Sumut. Langkah ini dinilai memunculkan Dwifungsi TNI/Polri dan dapat
mencederai netralitas TNI/Polri. Terakhir, adanya draf peraturan baru
organisasi mahasiswa (Ormawa) yang dinilai mengancam kebebasan berorganisasi
dan gerakan kritis mahasiswa.
Aksi yang dilakukan
oleh Ketua BEM UI ini tidak mendapat respon apapun dari Jokowi. Hal itu tentu
membuat kecewa mahasiswa. Mengingat bahwa aksi tersebut tidak hanya untuk
menyampaikan kritik namun juga agar terjadi diskusi antara Jokowi dan
Mahasiswa. Aksi ini pun menuai pro dan kontra
di kalangan masyarakat. Masyarakat awam menilai bahwa aksi yang dilakukan oleh
Zaadit terlalu nekat dan kurang sopan serta beranggapan kalau BEM UI hanya
dapat mengkritik tanpa memberikan kontribusi langsung. Menurut Muhammad Bahi Royhan (Wakil Ketua BEM
FIS UNJ) selaku pembicara berpendapat bahwa Zaadit ibarat pahlawan di siang
bolong, aksinya dinilai nekat dan sangat berani. Keberaniannya patut menjadi
contoh untuk kita agar berani menyampaikan kritik kepada siapa saja sekalipun
itu pemimpin kita. Menurutnya, Jokowi harusnya mengajak para mahasiswa untuk
berdiskusi dan menampung aspirasi mereka sebagai acuan untuk Indonesia yang
lebih baik. Karena menurut dia, Jokowi selama masa pemerintahannya tidak pernah
menemui Presiden Mahasiswa dari berbagai universitas untuk berdiskusi meskipun sudah
berkali-kali turun aksi. Para mahaiswa hanya bisa menyampaikan tuntutan melalui
Humas Kepresidenan. Sangat bertolak belakang dengan janjinya bahwa saat menjadi
Presiden, Jokowi siap membuka pintu istana unuk siapa saja yang ingin
menyampaikan pendapat.
Pendapat dari Mohammad
Roushan Dhamir (Ketua BEM FIS UNJ), menurutnya aksi yang dilakukan oleh Zaadit
sah-sah saja mengingat mahasiswa juga memiliki tugas mengayomi masyarakat dan
memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan termasuk hak-hak rakyat terhadap
pemerintah. Di sisi lain, Satrio Harseno menyayangkan aksi tersebut karena
dilakukan pada saat momentum yang tidak tepat. Menurutnya, acara Dies Natalis
tersebut bukan forum untuk menyampaikan pendapat. Ada wadah tersendiri untuk
menampung aksi kekritisan mahasiswa.
Lain halnya dengan pendapat dengan Satrio Harseno.
Ketua BEMP Sejarah, Farhan berpendapat bahwa jika yang dilakukan Zaadit sebagai
seorang mahasiswa berperilaku tidak sopan dalam acara Dies Natalis sangatlah
tidak sopan. Kata-kata sopan itu sendiri memiliki konteks yang absurd dalam hal
itu. Mengapa? Ketika tahun 98 pada masa Reformasi, para mahasiswa pada kala itu
jauh lebih tidak sopan lagi, yakni menduduki gedung DPR/MPR yang merupakan simbol
negara.
Kesimpulan dari dipsi pada tanggal 20 Maret 2018. Apa
yang dilakukan Zaadit selaku Ketua BEM UI dalam acara Dies Natalis sebenarnya
merupakan hal yang berani. Disatu sisi, ia melakukan hal itu untuk memberi
peringatan oleh Presiden Jokowi dalam pemerintahannya bahwa terdapat masalah
yang harus diselesaikan. Disatu sisi pula, apa yang dia lakukan pada acara Dies
Natali situ sungguh mencoreng nama Baik UI sebagai kampus kebanggaan Indonesia.
Mengenai masalah gizi buruk di Suku Asmat, pengusulan PLT gubernur dikalangan
POLRI sungguh sangat mencoreng netralitas institusi tersebut, dan juga draf
peraturan ORMAWA yang menghambat para mahasiswa untuk berorganisasi merupakan
tuntutan yang dilakukan oleh Zaadit kepada presiden. Diharapkan dengan
peristiwa ini pemerintah kita lebih serius lagi dalam menangani masalah di
negeri ini. Kartu kuning hanyalah sebuah peringatan dari mahasiswa untuk
pemerintah bahwa sedang terjadi hal yang mengkhawatirkan di negeri ini. Jangan
sampai nantinya ada “kartu merah” yang timbul oleh mahasiswa nantinya.
Ditulis oleh : Fayruz Syifa Izdihar dan Aditya
Yogiswara.
Comments
Post a Comment